Jumat, 08 Januari 2010

My Memory

My Memory

Sejenak ku terhenyak dari lamunanku, menukik baying hingga dialam suram. Padamu kisah, kulukiskna ceita, padamu indah kusaya bahagai
Ceita sedih ku ini berawal dari sebuah curhan hati yang kugantung pada dinding pangit saat aku rebahkan diri menanti baying dalam misteri mimpi terbangun kemudian dari tidurku ketika ingatnku menyapa yang tak ku inginkan . ada kisah yang terkenang hingga kau harus terdepak dari barisanku, menjulang dan menggapai kisah yang ku impikan. Namun biar dan biarlah semua itu hanyalah ampas dari deritaku selama ini. Terkadang aku takluk dan tersadarkan bahwa masih banyak derita yang lebih pilu menantimu dihari depan, pahami dan hiasi kegagalan dan penderitan hari ini untuk kau bingkai hari esok.. ahh hidup, aku hanya biasmu, mungkin juga hanya bayangmu, kemanakah kan ku langkahkan kaki ini ketika didepanku nampak jurang yang curam ?
Apa yang akan aku pilih antara luka tersayat atau pilu yang tiada henti ???
Jiwa ku berdusta tentang kasih sesaat, hati menapik kalau ada rasa yang ingin merasa
Kini kasih sayangku harus terhempas di dermaga derita. Kutatap dan kulambai kau yang pergi. Kuingat satu hal ketika kau beranjak dari tempat kita berdiri dan menggapai tangga kapal yang akan membawamu ke tempat yang hanya kulihat dalam peta. Bahwa kau pergi untuk kembali, semoga dan semoga akan seperti yang terucapkan olehmu. Ku hanya bisa menjawab lewat hati yang kemudian mengacaki mataku
Basah aku pada dinding-dinding sepi, linangan hati yang menepi akibat ada onak karena rindu, membesukku di pembaringan ini. Bila bimbang ini kau tepis dnegan kabarmu, mungkin aku tak akan sepedih ini, kian saat, kian waktu, ku tatap nomor yang mengisi kertas yang tergantung di tembok, kuhitung –hitung sudah berminggu-minggu bisikmu tak terdengar. Candamu tak menyapa, mungkinkah rinduku tak terjawab ?? berbagai tanda tanya kini kembali melingkari kepenantanku
Honey, tatap diriku dalam ingatanmu, gerakkan tanganmu untuk memelukku, karena aku sepi dari dirimu jika memang sekarang kita ditakdirkan untuk jauh kemudian bersama menjalin kasih yang tertunda ini suatu saat, mungkin pilu ku hari ini akan kurelakan hingga kau kembali, namun bila memang tidak, biarkan aku mendengar kisahmu yang mulai menepis cintaku
Adakah bunga yang kemarin aku titipkan padamu kini layu ???
Bila memang telah terkubur tiupkan hawa tanah untuk aku pahami, hongga aku mampu terjaga dari rindu ini..

By luna__L

Selasa, 05 Januari 2010

maafkanlah aku atas semua

hai...... mungkin maaf itu hilang dari anganmu karena kamu telah kecewa padaku tapi aku sungguh tak ingin kau kecewa tapi bagaimana lagi.. aku tak mungkin bersamamu lagi. jiwa ini telah mati.. aku juga kecewa dengan sikapmu. entah berapa maaf yang aku katakan padamu tapi kau tak pernah mengerti
ini memang menjadi hal yang terbaik buat kita.. pergi adalah jawaban dari semua ini. tak mungkin kita bersama
berkali aku coba untuk kembali dan kembali dan berkali juga kau harus terluka.. kau hujamkan katamu pada lubuk hatiku...... ini kah caramu mencintaiku ??
inikah caramu menyayangi aku ?
katamu begitu menyakitkan..
aku sadar 5 tahun bukan waktu yang cepat .. tapi selama itu aku tetap sabar dan menerima kenyataan ini. aku tak tahan.. aku muak dan aku terasa mati
maafkan aku atas semua ini semua cinta ini semua luka ini tapi inilah yang harus aku terima dari sikapmu dan inilah yang kau terima dari sikapku
tak mungkin kita bersama untuk selamamnya

SURAT DALAM HENING

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”



Jarang sekali kita duduk bersama ditempat yang sering kau datangi. Aku masih berpikir kenapa engkau suka menikmati pantai malam hari? Hingga kinipun, aku masih berpikir…. Ku mencoba gayung kaki untuk membiasakan diri seperti yang biasa kamu lakukan, berjalan ke pantai, menikmati keramaian, menjelma menjadi penghias suramnya malam, meletakkan bingkai demi ketenangan hati… Tapi… Tebaran noda selalu nampak diantara tapak kesunyian yang engkau jejaki. Mungkin itu yang membedakan kita dulu. Entah hingga hari ini….
Senja itu kini merajut duka ketika ku menatap… Tak ada sunyi, senyap pun tak pernah berhenti dalam hiruk pikuk. Engkau selalu menyinggungku melalui syair lagu “Perempuan Ini”, aku tak mampu menjawab. Jika mungkin hanya syair “Aku Bukan Untukmu” yang bisa aku balas. Berkali-kali aku minta ubah syair, namun selalu kamu lepas untuk kau sangkal. Kini semuanya senyap, tak ada canda tawa lagi yang menyapa. Tak ada asap rokok mengepul menghiasi deruan jiwa-jiwa kebisuan. Tak terhitung puing-puing retak yang terbangun …Berserakan…Ingin aku memungut tapi tetesan darah yang kita buat tak mampu kurangkai menjadi utuh. Atau mungkin itu telah menjadi takdir dari penghabisan waktu kita?
‘Angin lalu’ kata yang sering kau sebut. Walau tak pelak jiwa meronta karena berontak. Munafik? Siapa bilang? Bukan! Itu bukan karena kata itu…. Tapi mungkin kita sedang mencari yang terbaik. Tapi kita tidak bisa menyangkal jika akhirnya kata itu pula yang membunuh kita secara bersamaan. Bait demi bait kau nyanyikan kembali syair lagu yang telah lama engkau buang, hingga senja memaksa merajut kedustaannya. Bersama air mata engkau tuang semuanya hingga tak tersisa.
Kini, siapa yang akan kita salahkan? Pantai? Senja? Jalanan yang menjadikan kita selalu berdebat? Bukan! Bukan….semua itu… Namun ada yang tengah ternganga… Luka Kah? Bukan! Itu hanya fatamorgana kita yang sedang membelah senja.
Kini aku sudah lama tak mendengar lagi kabarmu padahal engkau memandang bulan yang sama dengan yang kupandang bersamamu dulu. Pada jalan yang ku susuri pun masih terpeta jejak langkahmu ketika aku menapakinya. Tapi angin tak pernah menghantarkan percikan dirimu ke pelukanku. Mungkin hanya sesekali kau muncul dalam jeratan mimpiku yang semu. Dan aku tak pernah tahu, apakah aku terbang mengunjungi kabut mimpimu.
Apa yang sedang engkau lakukan sekarang? Sungguh, aku benar-benar tak tahu. Aku kehilangan jejak langkahmu sejak engkau letakkan kaca pemisah buram diantara kita. Bahkan memandang dari balik kaca untuk mengintip bayang dirimu pun aku tak bisa. Kabut pedih yang melingkupi terlalu tebal. Hanya gegap nyeri berdenyut yang kudapat. Siapakah sekarang yang merajut tetesan waktu bersamamu? Untaian masa kita terburai sudah. Hanya tertinggal serpihan-serpihan jiwa yang terserak. Terbelenggu dalam hening yang menyiksa. Tapi aku rindu.
Bodohkan aku jika masih saja mengalamatkan rindu padamu? Saat tak ada lagi detik yang kau lewatkan untuk mengingatku. Saat tak ada lagi sisa diriku yang terpatri dalam hidupmu. Cabikan kenangan tentangku telah terburai. Bahkan hanya sekedar namaku pun kau lupakan. Hanya hening yang kau tawarkan padaku kini. Tanpa imbalan apapun. Kau lontarkan hening ketika kupersembahkan rinduku. Hening yang terus me-raja. Hening yang lahir dari benci. Rinduku terbentur hening. Tapi aku masih tetap merindumu. Kurengkuh hening ketika kumerindumu. Sudahlah…. Tak peduli aku berteriak sekuat tenaga, kau tak akan mendengarku. Kau lebih memilih hening untuk menggantikan jerit hatiku. Hening yang memilukan. Hening yang hanya mengantarkan cakap rindu kekasihmu kini. Semoga kau baik-baik saja diseberang hening yang memisahkan kita.


Danau Unhas, 2006

KETIKA CINTA MENYAPA LUKA

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”


Senja pantai menerpa perbukitan pada dinding ranting-ranting patah. Dedaunan gugur pada musim semi. Gubahan syair berkeliaran digurun padang berbatu. Bulan menyapa malam namun tak pernah bergandengan dengan fajar. Kulihat musim sedang meliwati transisi, entah akan berganti apa. Karena daun berguguran saat musim semi, mungkinkah musim dingin? Entah tapi aku merasakannya.
Burung kutub terbang menuju daerah selatan, menghindar dari musim. Berpindah karena tak mampu beradaptasi. Aku memperhatikannya, tapi aku belum mengerti. Karena alam belum mengijinkan. Kupasang mata pada jarak jiwa, mencoba mendekati bintang redup. Namun aku menyadari bahwa aku di Bumi. Hanya bisa menatapnya pada malam hari, hanya bisa menyanjungnya pada saat suasana hati romantis. Tiada retak yang tak berserakkan, tiada resah yang tak cemas sehingga akupun berpikir bahwa tidak akan ada asap jika tidak ada api.
Ketika kebersamaan yang kita rajut membuahkan indah pada lembar demi lembar album kecil kita, mungkin engkau menyebutnya Diary. Hari-hari terlewatkan dengan berbagai cerita. Bayang-bayang keceriaan masih tertanam hingga kini.
Lewat goresan ini, lantunan hati kecilku merangkak mencari solusi dalam ilusi. Aku hanya suara dalam alam maya. Tak bersarang, tak berjarak, tapi merasa. Karena getaran yang meraba jiwa. Merasa atau merisau, karena kita mungkin sama dan pernah melaluinya kemarin. Hati kita mungkin rela ketika bayang mengungkit, mungkin pula tidak karena romantika yang memilukan. Tapi aku lelah memendam kenangan ini dalam album miniku, karenanya foto-foto kenangan kita memudar. Ku awali sekat ini dalam pembuangannya mulai pada awal engkau katakana, bahwa saat itu kita tenggelam dalam canda tawa. Kemudian engkaupun tahu, bahwa ada hati yang diam-diam kutanam menanti subur. Sebab ada cinta yang sedang bersemi.
Beberapa kali engkau menggodaku karena ada indah dalam tatapanmu, begitu pun aku. Sekian kali aku menggodamu, karena ada hati yang sedang merontak. Jimatku mujarab saat engkau menyambutnya dengan senyum. Berkali kali dan telah sekian kali dalam perjalanan kita. Canda tawa mewarnainya saat kita kenang kembali dibawah temaram bulan separuh. Cinta dan gurauan itu bersama-sama kita jalin hingga suatu hari keadaan mengambilnya dengan paksa dari tanganku. Warna dalam cerita kita adalah engkau dan aku yang membuatnya, yang merajutnya, yang merancangnya dan yang merencanakannya.
Sesaat aku khilaf, sesaat itu pula reruntuhan bergemuruh dibalik bebukitan indah diatas villa angsa tempat kita merajut kasih. Berkali-kali kini aku memohon maaf karena sesal, engkau membalasnya dengan mengiris kanvas yang telah berwarnah indah. Pada hal dulu, engkau adalah pengisi ruang jiwaku. Padahal dulu, aku adalah pelebur ketidaktahuanmu, hingga kita saling mengisi satu sama lain. Kuncup bunga ditaman tidak akan mekar bila tidak ada serangga yang mendekat untuk membisikannya.
Cinta, sesal aku karena khilaf. Tapi tiada daya karena aku hanyalah manusia biasa yang tak luput darinya. Maaf yang kusampaikan tak kau gubris karena dendam membentengi. Yang kini kusesali, mengapa tidak sejak dulu dendam itu tidak kau ungkapkan karena mungkin benci yang menjadi benihnya dapat ku sayat hingga tak berbentuk. Yang mungkin dapat engkau sadari, bahwa sesungguhnya disini masih ada ruang hati yang tersimpan rapi walau tercampakkan dari sisinya. Tak berserakkan namun retak berkaca.
Cinta, kasih yang kau jalin dengan dia kini, bukan untuk menebus khilaf ku khan….? Benci yang engkau tampakkan pada pesona wajah ceriamu, bukan untuk membutakan mata hatiku khan….? Adakah ini adalah ujian untukku karena engkau yang ingin tahu aku lebih jauh….? Ach, cinta, jauh benar kini engkau langkahkan kakimu hingga tak terkejar olehku. Sesaat kita bertemu, sekian lama balasan tatapanmu menyudutkanku dari tanya dalam diam. Aku bingung, aku terkesimak, ataukah ini memang akhir dari mewarnai cerita kita? Padahal putih diatas kanvas itu masih panjang dan belum ternoda oleh tinta-tinta pena yang menoreh.
Beberapa kali bibirku berucap dalam gagap karena ada kasih sayang yang terkunci dalam diri ini. Mungkin karena malu, sebab masih ada cinta yang berharap indah diantara luka dan benci. Jika engkau masih memiliki rasa yang peka tentang jiwa seorang insan yang sedang merana, engkau akan paham mengapa luka mesti tersayat, mengapa benci mesti memilukan. Tak ada tanya, sebab tak akan terjawab.
Cinta, engkau pergi bukannya untuk menghindar? Aku tersenyum ketika engkau sapa dengan kepenatan bukan kah akan terluka…?. Betapa pedih hati yang sedang retak, mungkin akan sangat pedih ketika remuk kini menghampiri. Apa yang engkau inginkan? bukankah telah puas engkau membalas ini semua dengan cara mu menjauh untuk merangkul dekat. Bukan kehangatan yang kudapat namun dingin yang menyesakkan. Apa yang ada dalam pikiranmu Cinta? bukankah telah kukatakan, bahwa tiada pernah henti ku kenangi cerita kita. Air mata mungkin kini pedih, hingga kering tak kurasa. Atau mungkin telah mengering karena ku tak kuasa membendung. Walau mata tak berkaca, namun hatiku tergenang.
Cinta, aku masih mengaharap, akan jiwa yang saling mengisi kemudian bersama-sama mewarnai kanvas baru. tapi mencontohi kanvas lama agar tidak berhenti ketika putih masih terbentang luas. Masih adakah kesempatan itu ketika keinginan ini masih berjuang? Sebab hatiku masih tertinggal dalam jiwamu. Kini aku merebah diantara beling-beling retak. Mungkin tiada guna, namun untuk engkau ketahui bahwa duka masih berkabung.
Cinta, jika terik tak bisa engkau hadirkan dalam kelabu ini, mungkin bintang setitik bisa engkau sisipkan diantara kelam semusim. Tiada pula gunanya jika kau gantung jauh untuk kugapai. Ataukah mungkin aku harus menunggu senja saat dilewati oleh burung kutub yang kembali karena musim telah berubah? Jangan engkau jawab karena aku tak menanyakkannya, hingga esok, fajar akan menyapamu. Katakan padanya walau itu perih, tapi bukan disaat bulan separuh. Pastikan aku masih menunggumu, Cinta ….!!!!!


Tamalanrea, 2005

SENYUMMU MEMEKAT

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”


Sejenak ku terhenyak dari lamunanku, menukik bayang hingga di alam suram. Padamu kisah kulukis cerita. Padamu indah kusayat bahagia. Cerita sedih ku ini berawal dari sebuah curahan hati yang kugantung pada dinding langit saat aku rebahkan diri menanti bayang dalam alam misteri mimpi. Terbangun kemudian dari tidurku ketika ingatanku menyapa yang tak kuinginkan. Ada kisah yang terkenang, hingga aku harus terdepak dari barisanku. Menjulang dan menggapai kisah yang kuimpikan. Tapi biar dan biarlah, semua itu hanyalah ampas dari deritaku selama ini. Terkadang aku takluk dan tersadarkan bahwa masih ada derita yang lebih pilu menantimu dihari depan. Pahami dan hiasi kegagalan dan penderitaan hari ini untuk kau bingkai hari esok.
Ah…, hidup, aku hanya biasmu, mungkin juga hanya bayangmu. Kemana kaki kan ku langkahi ketika didepanku nampak jurang yang curam. Apa yang akan aku pilih antara luka tersayat atau pilu yang tiada henti. Jiwaku berdusta tentang kasih sesaat, hati menapik kalau ada rasa yang ingin merasa.
Kini, kasih sayangku harus terhempas didermaga cerita. Kutatap dan kulambai engkau yang pergi. Kuingat satu hal ketika engkau beranjak dari tempat kita berdiri dan menggapai tangga kapal yang akan membawamu ketempat yang hanya kulihat dalam peta. Bahwa engkau pergi untuk kembali, semoga dan semoga akan seperti yang terucapkan oleh lidahmu. Ku hanya bisa menjawab lewat hati yang kemudian mengacaki mataku.
Basah aku pada dinding-dinding sepi. Linangan hati yang menepi akibat ada onak karena rindu, membesukku dipembaringan ini.
Kasih, bila bimbang ini kau tepis dengan khabarmu, mungkin aku tak akan sepedih ini. Kian saat, kian waktu, kutatap angka yang mengisi kertas tergantung ditembok. Kuhitung-hitung sudah berminggu-minggu bisikmu tak terdengar, candamu tak menyapa. Mungkinkah rindukku tak terjawab? Berbagai tanda tanya kini, melingkari kepenatanku. Adakah benar kata orang bahwa jarakmu denganku tak bisa menjamin dekatnya hati kita seperti dulu lagi? Aku cemas, aku resah, aku gelisah.
Kasih, tatap diriku dalam ingatanmu, gerakkan tanganmu untuk memelukku, karena aku sepi dari dirimu. Jika memang sekarang kita ditakdirkan untuk jauh kemudian bersama menjalin kasih yang tertunda ini suatu saat, mungkin piluku hari ini aku relakan hingga engkau hadir kembali. Namun bila memang tidak, biarkan aku mendengar kisahmu yang mulai menepis cintaku. Adakah bunga yang kemarin aku titip pada dirimu, kini layu? Bila memang telah terkubur, tiupkan hawa tanah untuk aku pahami, hingga aku mampu terjaga dari rindu ini.
Kupendam kasih demi cinta yang subur, namun kini kurasa ada hati yang terpendam untuk menanti cinta yang hilang. “ Ya, Tuhanku bila ada hamba-Mu yang bisa ku bagikan parahara hati ini, maka tunjukkanlah, karena aku yang tak mampu menahan parahara ini seorang diri, Ya Tuhanku.”
Aku mulai bimbang kini. Haruskah kepercayaan ini kukubur untuk mengobati sepi? Tapi aku masih ragu. Kasihku, jika hatimu tergerak untuk kau kabarkan ceritamu, sampaikanlah pada bulan disana, sebab sudah sekian bulan kupandang. Hanya suram yang kulihat.
Setelah berminggu-minggu kutunggu, selembar amplop bertulis indah tergeletak dikamarku. Kutatap dan kutersenyum karena yang kunanti ada didepanku. Cukup lama aku menatap dan menggenggamnya, kemudian tersentak aku, karena hayalku buyar oleh tanya yang sedang ragu. Akankah indah ataukah memilukan.
Kata pertama, engkau menyanjungku, aku terkesimak dan melayang. Ke dua pun terlewati. Lembar demi lembar aku terhanyut, hingga bagian akhir butiran bening pun membasahi lembaran akhir dari ceritamu. Pedih, perih, …..ach, entah apalagi yang bisa kugambarkan dan kukatakan tentang kekacauan hati ini. Tapi aku hanya bisa pasrah, mungkin telah putus asa. Lembaran yang kau kirim ini, memutuskan seluruh urat nadi dan memecahkan saraf impianku. Kini, sirna sudah segala pengorbanan dan perjuanganku mempertahankan kepercayaan dan harapanmu. Ingin kumaki dirimu yang jauh disana, Tapi sia-sia karena hanyak serak yang tersisa dari teriakkan hampa ini.
Jika memang aku telah tiada dan engkau masih ada, segeralah berjiarah dikuburku. Tak perlu kau taburkan kembang-kembang diatasnya, sebab ini sudah cukup bagiku untuk ku sampaikan salammu pada Karma. Karena senyumku kini pekat.



Jalanan Losari, 2003

BINTANG DALAM TEMARAM

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”



Bahagia sesaat lebih indah pilu seabad. Suka atau tidak, itulah kegilaanku meniti rantai ditengah lebatnya hujan tak bermendung. Kelam memang, namun gerimis tak menyapa. Kemudian isi alam tersentak ketika butir cairan melebat dimana-mana. Entah gerangan apa yang mengijinkannya hingga alampun membisu tak tahu kenapa? Air mata ikut membias menghiasi jagat raya. Adakah hati yang berperasaan membiarkan cerah tertoreh kelam dan kelabu yang datang tiba-tiba? Alam berteriak pilu, jagat raya menangis mengira kiamat datang lebih dini. Kutersungkur tak tahu akan hal yang terjadi. Ataukah aku hanyalah obyek permainan alam? Namun alam pun bingung untuk memilah. Mengapa ketegaan ini menyapaku hingga mimpi pun keheranan. Padahal esok ada harapan yang kugantung pada pundak-pundak bumi pertiwi.
Sobatku.., ada noda yang tertoreh diantara bias kebersamaan kita. Aku sangat terpukul ketika keterkoyakkan ini menimpa persaudaraan yang kita jalin. Ada ketidak relaan ketika suara suram terdengar hingga dipenghujung kota. Entah atas dasar apa hati kita berbicara lain. Adakah hasrat yang tertuang dalam niat kebersamaan, ataukah kita disatukan dalam kebersamaan untuk saling mengkhianati? Maafkan aku sobatku, cerita cinta yang pernah kuliwati bersama denganya terjalin ketika engkau belum mengenalnya. Tapi semua itu terlukis dalam kubangan buaya. Entah siapa yang salah sobat, dia kah yang aku cinta ataukah engkau yang aku sanjungi. Mungkin pula karena aku yang belum memahmi perasaan kalian yang ingin menyatu. Tapi mengapa harus diantara kita sobat?
Mungkin engkau pernah mendengar cerita cinta kami sobat? Begitu indah, begitu romantis, cinta dan kasih sayang tumbuh subur diantara jiwa yang saling menyanjung. Tak habis pikir kemudian yang menyelimuti diriku. Sebab ada hati yang sedang memaksa untuk menerobos jeruji-jeruji kisah yang kemudian terkenang menjadi luka. Namun mengapa harus diatara kita? Mimpikah ini? Atau kah ini cobaan hidup?
Kasih…, ketika kilatan itu menyambar telingaku, aku tersungkur lesu dibawa kaki sejarah. Sia-sia pena yang kupilih untuk menulis cerita kita, yang akhirnya kau sirami dengan warna hitam. Tidak ada lagi putih yang nampak diantara buku-buku cerita kita. Sungguh tega engkau permainkan hati ini. Mengapa harus sobatku yang kau jadikan angkara hidupku. Mengapa harus sobatku yang kau usung untuk kau sayangi, sementara masih ada cinta pada hati ini. Aku muak, aku resah, aku benci dengan segala yang sedang terungkap. Wahai diri yang malang, mengapa cobaan ini ditakdirkan untuk dermaga kasihku. Mengapa tidak berlabuh pada dermaga kisah dilain hati. Aku mengerti bahwa cinta tak harus saling memiliki, namun aku tidak paham mengapa persahabatan yang jadi sasaran untuk kau madu.
Kasih,…. Sungguh engkau luar biasa, menyakiti diantara pedih. Menyiram luka dengan garam yang kau tanak. Kemudian menebarnya untuk kesenanganmu. Sadarlah, kasih, bahwa kemenanganmu saat ini adalah duka yang akan kau semai diujung perjalananmu. Aku tertunduk luka diantara tarian-tarian kebahagiaan, pesta itu kau buat untuk membunuh nuraniku yang gersang akan kasih saying. Mengapa tidak kau bunuh sekalian jiwa yang sedang berontak ini?
Sobatku…, sekali lagi entah siapa sebanarnya yang salah. Mungkin aku yang telah terlalu berambisi membangun pondasi yang lebih tinggi, hingga tak kusadari bahwa ada runtuh yang sedang menungguku. Kini kusadar bahwa semua itu telah terjadi dan kini aku remuk oleh kalian. Pedih, menyiksa hingga ke saraf cinta.
Tidak ada hal yang bisa kupaksakan berlabuh. Tapi yang kusesali mengapa harus ada dua dermaga untuk satu kapal yang akan bersandar. Terima kasih sobat, engkau telah membiarkanku menyadari kemunafikan ini. Terima kasih pula kasih, karena engkau telah menanamkan benih kebencian yang mendalam. Aku hanya bisa menyumbang kisah dihari pertunangan kalian nanti. Semoga tidak ada lagi generasi penghancur harapan sejati yang akan hadir dimuka bumi ini, tidak pula pada bunda pertiwi.
Selamat mengarungi mimpi-mimpi indah diatas tangisan berontak jiwa pengembara cinta dan pejuang kepedihan kasih. Terima kasih untuk terkahir kalinya, karena dari kalianlah aku terbiasa muntah…!!!!.

Bantimurung, 2003

MAAFKAN AKU

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”


Bersama indah, kuhanyutkan diri dalam pelukkan persaudaraan. Kutatap roda kehidupan, ingin kugapai lewat genggaman tangan yang saling menggenggam. Kulupakan onak dan duri demi kebersamaan, kucampakkan kaidah sebagai manusia normal guna menggapai kisah abadi. Kupandangi langit, kupetik bintang, kugantungkan harapan demi satu rasa dalam sebuah kebersamaan. Kukecup sang mentari, ku ulurkan tangan didalam persaudaraan, namun sesak yang terukir.
Kuingat kembali masa suram yang penuh bahagia, kucampakkan duka demi bersandar pada engkau sahabatku. Kuikuti langkah kaki menuju sebuah impian. Engkau datang menghampiriku, tertunduk menangis karena kekal yang engkau rasa.
Sahabat………. Aku mencintaimu, aku menyayangimu, namun aku tak sanggup melihatmu nampak diantara orang-orang yang tak kukenal. Walau kau mengenal mereka. Maafkan aku sahabatku jika cemburuku itu mengekangmu.
Aku ingin kamu mendengar ceritaku hari ini supaya aku tidak kau anggap munafik dihari esok. Please, aku memohon padamu untuk memahamiku sebagai seorang manusia yang tidak memiliki apa-apa untuk persahabatan ini. Jikapun engkau muak mendengarnya, muntahkan dihadapanku agar aku tenang memahamimu.
Maaf, ku awali kata-kataku. Orang-orang akan mengatakan bahwa ini adalah sebentuk penghianatan terhadap persahabatan. Sahabatku, berawal dari sebuah keceriaan aku mengenalmu. Ketika aku sedih engkau mengenalku, engkau memberikan harapan yang lebih padaku. Engkau menolak setiap jasa yang kubalas tanpa berhenti untuk terus kau ukir budi baikmu padaku. Apa yang ku bisa balaskan untukmu? Aku berharap engkau pinta nyawaku, tapi dengan geram kau menolaknya pula.
Terpikir aku untuk mengenang detik pertama ikrar persahabatan antara kita hingga detik akhir kata-kataku ini selesai. Beberapa kali air mataku menetesinya, rong-rongan pertayaan menderu dalam sudut-sudut kalbuku. Mengapa harus seperti ini pada akhirnya.
Sahabat… Maafkan aku ketika seperti ini yang terjadi. Galau aku pada cemas yang tertunduk malu. Mengapa harus perasaan yang berpaling. Aku berusaha mengumbarnya melalui jeritan dan teriakan berserak dipinggir pantai namun tidak ada daya untuk membentenginya. Maafkan aku sahabatku.
Tak seharusnya kekekalan jiwa persahabatan tergantikan oleh jiwa cinta yang rapuh. Ada dusta diawal tulisanku ini, bahwa sebenarnya kuingin mengatakan cinta yang begitu mendalam pada dirimu. Aku tersungkur dihadapan perjuangan membangun kebersamaan. Cinta yang bersemi dalam diri ini adalah sesuatu yang tidak ku tahu dari mana asalnya. Walau aku telah mencarinya kesegala penjuru . Maafkan aku sahabatku, kini kumemohon bersama air mataku. Maaf, dengan segala maaf atas segala perasaan ini. Kutahu kau akan marah sahabatku, kutahu kau akan membenciku, kau akan mengucilkanku, kaupun akan mendamparku dari segala perjalanan panjang kita hingga pada akhirnya akupun terusir dari rumah kenangan terkasih. Namun sebelum itu kau lakukan, satu pintaku padamu. Terimalah dan maklumi perasaan ini apa adanya walau hanya untuk sedetik. Kemudian lakukan apa yang seharusnya menjadi sanksi untukku, karena aku yang sadar akan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.
Maafkan aku sahabat, aku tidak bisa munafik dengan membohongi kata hati dan membohongi dirimu. Adakah ini karma bagiku ? Akupun tidak tahu,
Maafkan aku dan maafkan aku, karena aku terlanjur telah mencintaimu ditengah engkau tidak mengharapkan cinta itu dari diriku. -Maafkan aku-


Makassar, 2004

PENANTIAN

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”


Berdiri terpaku seorang diri ditelaga cinta. Memandang indah tangisan bahagia kelelawar, yang sedang menanti malam datang. Saat itu suasana senja disebuah lekukan pesisir pantai. Kupandang indah matahari sore. Kuberi tanda bahwa aku datang untuk mencoba memamahinya dalam menanti malam. Kukhabarkan pada langit, bahwa aku sepertimu, ada awan kelabu dalam hatiku, tidak terik namun tidak juga gerimis……
Sudah berhari-hari, telah berbulan-bulan dan kini hampir menahun aku menunggumu. Menanti khabar untuk hatiku yang sedang galau. Engkau yang jauh dari sisiku saat ini, menghadirkan tanya dalam sepi. Serasa aku yang dibuang. Aku mencoba menyadari, betapa pedihnya hati yang sedang menanti. Durjana yang kurasa bila sedang merindu.
Kasih, kunantikan engkau dalam tanya hampa yang terus menyelimuti jiwaku. Teringat aku ketika engkau mengatakan “ Tunggulah aku disini, karena aku yang akan kembali dengan segala impian yang kau semai .” Terasa berat ketika perpisahan untuk sebuah pertemuan kulalui. Rasa rindu yang mendera diriku saat ini, telah kubungkus indah dalam bingkai kepahitan, kutunggu angin yang berhembus kearahmu untuk kemudian ku kirim. Tunggu, menunggu, tertunduk didepanku, karena angin pun tak mampu menyampaikannya dihadapanmu. Bukannya angin itu tak mau mencarimu untuk disampaikannya kado yang kubungkus, namun apalah daya, segala penjuru tak tahu kemana harus mencari dirimu.
Kasih, jika saat ini kebetulan engkau mendengar suara bingkisan yang kukirim ini, tolong katakan pada angin yang berhembus dan menyapa hatimu, bahwa ada asa yang kau hembuskan untuk aku hirup. Hingga jiwaku yang telah menjadi cinta ini, bisa merasa tenang dalam buaian penantian yang dilantunkan syair.
Kasih, jika engkau tahu, sudah ada sepuluh lagu penantian dan kerinduan yang kulukis melalui syair dan alunan indah gitar yang kuciptakan khusus untukmu. Saat inipun, ditempat aku berdiri, ingin kunyanyikan syair itu, biarlah ombak yang berderu akan menyampaikannya. Tapi aku belum yakin kalau ombak yang kutemani saat ini tahu akan keberadaanmu dimana.
Kasih, biarlah lagu ini kusimpan dan akan kunyanyikan disaat engkau menyapaku nanti. Bukan pada mimpi indah, tapi pada hari yang indah. Dimana aku akan memelukmu, karena bahagia, kemudian menangis dihadapanmu karena engkau yang telah kembali. Hingga aku lupa akan waktu karena ceritaku tentang kisah penantianku padamu yang panjang.
Kasih, matahari kini hanya tinggal separuh, namun awan masih kelabu, adakah engkau seperti ini? Yang juga berdiri ditengah gurun kerinduan. Menanti aku dalam pelukkanmu? Hingga kemudian aku menangis dan lupa akan waktu? Semoga awan itu memang benar darimu, karena engkau yang sedang merindukkanku dan mengirimkannya untukku agar aku tahu bahwa engkau saat ini sedang merindukkaku, seperti halnya aku yang sedang menantimu. Walau kini matahari hanya terlihat remang cahayanya, namun aku yakin engkau belum beranjak dari tempatmu yang sedang merindukkanku. Hingga aku meninggalkan tempatku, dimana aku yang sedang menantimu dalam tatapan yang penuh harap.
Kini aku sadar malam mulai mengusikku dengan suasana kegelapan yang terasa mencekam. Air mataku pun memaksa untuk menetesi kepedihan dada yang sesak karena menanti. Aku berdoa, menengadahkan kepala dan mengulurkan telapak tangan. Semoga malam yang kian larut dengan kegelapan ini, bukannya keinginan dia yang aku nanti. Aku takut kehilangan dia ya Tuhanku. Walau hatiku mulai lelah karena menantinya, walau kakiku mulai rapuh karena berdiri disini mengharap khabar darinya, walau berbagai duri yang kurasa berkali-kali ketika aku berjalan hingga ketempat ini. Karena rinduku padanya. Biarkan ….! Biarkan semua itu menyerangku, menusuk ku dan membuatku tersiksa, asalkan Ia yang kunanti menyadari betapa aku mencintainya, menyanyanginya, merindukannya dan akan terus kunanti hingga jasad ini roboh ditempat ini.
Kasih, esok akan aku tanya fajar yang menyapa diufuk timur, apakah telah terkirim arti hadirku untukmu? Hingga aku tak tahu bagaimana memejamkan mata saat kegelapan menyelimuti padang-padang, rimba raya, dan segala belantara yang ada dimuka bumi.
Kasih, esok akan kuceritakan apa yang sedang aku pikirkan nanti malam, biar engkau tahu betapa aku menunggumu dalam jiwa dan ragaku.



Losari, 2001