Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”
Bersama indah, kuhanyutkan diri dalam pelukkan persaudaraan. Kutatap roda kehidupan, ingin kugapai lewat genggaman tangan yang saling menggenggam. Kulupakan onak dan duri demi kebersamaan, kucampakkan kaidah sebagai manusia normal guna menggapai kisah abadi. Kupandangi langit, kupetik bintang, kugantungkan harapan demi satu rasa dalam sebuah kebersamaan. Kukecup sang mentari, ku ulurkan tangan didalam persaudaraan, namun sesak yang terukir.
Kuingat kembali masa suram yang penuh bahagia, kucampakkan duka demi bersandar pada engkau sahabatku. Kuikuti langkah kaki menuju sebuah impian. Engkau datang menghampiriku, tertunduk menangis karena kekal yang engkau rasa.
Sahabat………. Aku mencintaimu, aku menyayangimu, namun aku tak sanggup melihatmu nampak diantara orang-orang yang tak kukenal. Walau kau mengenal mereka. Maafkan aku sahabatku jika cemburuku itu mengekangmu.
Aku ingin kamu mendengar ceritaku hari ini supaya aku tidak kau anggap munafik dihari esok. Please, aku memohon padamu untuk memahamiku sebagai seorang manusia yang tidak memiliki apa-apa untuk persahabatan ini. Jikapun engkau muak mendengarnya, muntahkan dihadapanku agar aku tenang memahamimu.
Maaf, ku awali kata-kataku. Orang-orang akan mengatakan bahwa ini adalah sebentuk penghianatan terhadap persahabatan. Sahabatku, berawal dari sebuah keceriaan aku mengenalmu. Ketika aku sedih engkau mengenalku, engkau memberikan harapan yang lebih padaku. Engkau menolak setiap jasa yang kubalas tanpa berhenti untuk terus kau ukir budi baikmu padaku. Apa yang ku bisa balaskan untukmu? Aku berharap engkau pinta nyawaku, tapi dengan geram kau menolaknya pula.
Terpikir aku untuk mengenang detik pertama ikrar persahabatan antara kita hingga detik akhir kata-kataku ini selesai. Beberapa kali air mataku menetesinya, rong-rongan pertayaan menderu dalam sudut-sudut kalbuku. Mengapa harus seperti ini pada akhirnya.
Sahabat… Maafkan aku ketika seperti ini yang terjadi. Galau aku pada cemas yang tertunduk malu. Mengapa harus perasaan yang berpaling. Aku berusaha mengumbarnya melalui jeritan dan teriakan berserak dipinggir pantai namun tidak ada daya untuk membentenginya. Maafkan aku sahabatku.
Tak seharusnya kekekalan jiwa persahabatan tergantikan oleh jiwa cinta yang rapuh. Ada dusta diawal tulisanku ini, bahwa sebenarnya kuingin mengatakan cinta yang begitu mendalam pada dirimu. Aku tersungkur dihadapan perjuangan membangun kebersamaan. Cinta yang bersemi dalam diri ini adalah sesuatu yang tidak ku tahu dari mana asalnya. Walau aku telah mencarinya kesegala penjuru . Maafkan aku sahabatku, kini kumemohon bersama air mataku. Maaf, dengan segala maaf atas segala perasaan ini. Kutahu kau akan marah sahabatku, kutahu kau akan membenciku, kau akan mengucilkanku, kaupun akan mendamparku dari segala perjalanan panjang kita hingga pada akhirnya akupun terusir dari rumah kenangan terkasih. Namun sebelum itu kau lakukan, satu pintaku padamu. Terimalah dan maklumi perasaan ini apa adanya walau hanya untuk sedetik. Kemudian lakukan apa yang seharusnya menjadi sanksi untukku, karena aku yang sadar akan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.
Maafkan aku sahabat, aku tidak bisa munafik dengan membohongi kata hati dan membohongi dirimu. Adakah ini karma bagiku ? Akupun tidak tahu,
Maafkan aku dan maafkan aku, karena aku terlanjur telah mencintaimu ditengah engkau tidak mengharapkan cinta itu dari diriku. -Maafkan aku-
Makassar, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar