Selasa, 05 Januari 2010

SENYUMMU MEMEKAT

Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”


Sejenak ku terhenyak dari lamunanku, menukik bayang hingga di alam suram. Padamu kisah kulukis cerita. Padamu indah kusayat bahagia. Cerita sedih ku ini berawal dari sebuah curahan hati yang kugantung pada dinding langit saat aku rebahkan diri menanti bayang dalam alam misteri mimpi. Terbangun kemudian dari tidurku ketika ingatanku menyapa yang tak kuinginkan. Ada kisah yang terkenang, hingga aku harus terdepak dari barisanku. Menjulang dan menggapai kisah yang kuimpikan. Tapi biar dan biarlah, semua itu hanyalah ampas dari deritaku selama ini. Terkadang aku takluk dan tersadarkan bahwa masih ada derita yang lebih pilu menantimu dihari depan. Pahami dan hiasi kegagalan dan penderitaan hari ini untuk kau bingkai hari esok.
Ah…, hidup, aku hanya biasmu, mungkin juga hanya bayangmu. Kemana kaki kan ku langkahi ketika didepanku nampak jurang yang curam. Apa yang akan aku pilih antara luka tersayat atau pilu yang tiada henti. Jiwaku berdusta tentang kasih sesaat, hati menapik kalau ada rasa yang ingin merasa.
Kini, kasih sayangku harus terhempas didermaga cerita. Kutatap dan kulambai engkau yang pergi. Kuingat satu hal ketika engkau beranjak dari tempat kita berdiri dan menggapai tangga kapal yang akan membawamu ketempat yang hanya kulihat dalam peta. Bahwa engkau pergi untuk kembali, semoga dan semoga akan seperti yang terucapkan oleh lidahmu. Ku hanya bisa menjawab lewat hati yang kemudian mengacaki mataku.
Basah aku pada dinding-dinding sepi. Linangan hati yang menepi akibat ada onak karena rindu, membesukku dipembaringan ini.
Kasih, bila bimbang ini kau tepis dengan khabarmu, mungkin aku tak akan sepedih ini. Kian saat, kian waktu, kutatap angka yang mengisi kertas tergantung ditembok. Kuhitung-hitung sudah berminggu-minggu bisikmu tak terdengar, candamu tak menyapa. Mungkinkah rindukku tak terjawab? Berbagai tanda tanya kini, melingkari kepenatanku. Adakah benar kata orang bahwa jarakmu denganku tak bisa menjamin dekatnya hati kita seperti dulu lagi? Aku cemas, aku resah, aku gelisah.
Kasih, tatap diriku dalam ingatanmu, gerakkan tanganmu untuk memelukku, karena aku sepi dari dirimu. Jika memang sekarang kita ditakdirkan untuk jauh kemudian bersama menjalin kasih yang tertunda ini suatu saat, mungkin piluku hari ini aku relakan hingga engkau hadir kembali. Namun bila memang tidak, biarkan aku mendengar kisahmu yang mulai menepis cintaku. Adakah bunga yang kemarin aku titip pada dirimu, kini layu? Bila memang telah terkubur, tiupkan hawa tanah untuk aku pahami, hingga aku mampu terjaga dari rindu ini.
Kupendam kasih demi cinta yang subur, namun kini kurasa ada hati yang terpendam untuk menanti cinta yang hilang. “ Ya, Tuhanku bila ada hamba-Mu yang bisa ku bagikan parahara hati ini, maka tunjukkanlah, karena aku yang tak mampu menahan parahara ini seorang diri, Ya Tuhanku.”
Aku mulai bimbang kini. Haruskah kepercayaan ini kukubur untuk mengobati sepi? Tapi aku masih ragu. Kasihku, jika hatimu tergerak untuk kau kabarkan ceritamu, sampaikanlah pada bulan disana, sebab sudah sekian bulan kupandang. Hanya suram yang kulihat.
Setelah berminggu-minggu kutunggu, selembar amplop bertulis indah tergeletak dikamarku. Kutatap dan kutersenyum karena yang kunanti ada didepanku. Cukup lama aku menatap dan menggenggamnya, kemudian tersentak aku, karena hayalku buyar oleh tanya yang sedang ragu. Akankah indah ataukah memilukan.
Kata pertama, engkau menyanjungku, aku terkesimak dan melayang. Ke dua pun terlewati. Lembar demi lembar aku terhanyut, hingga bagian akhir butiran bening pun membasahi lembaran akhir dari ceritamu. Pedih, perih, …..ach, entah apalagi yang bisa kugambarkan dan kukatakan tentang kekacauan hati ini. Tapi aku hanya bisa pasrah, mungkin telah putus asa. Lembaran yang kau kirim ini, memutuskan seluruh urat nadi dan memecahkan saraf impianku. Kini, sirna sudah segala pengorbanan dan perjuanganku mempertahankan kepercayaan dan harapanmu. Ingin kumaki dirimu yang jauh disana, Tapi sia-sia karena hanyak serak yang tersisa dari teriakkan hampa ini.
Jika memang aku telah tiada dan engkau masih ada, segeralah berjiarah dikuburku. Tak perlu kau taburkan kembang-kembang diatasnya, sebab ini sudah cukup bagiku untuk ku sampaikan salammu pada Karma. Karena senyumku kini pekat.



Jalanan Losari, 2003

Tidak ada komentar: