Rangga BABUJU : Dalam “Titian Harapan Dilembayung Hati”
Jarang sekali kita duduk bersama ditempat yang sering kau datangi. Aku masih berpikir kenapa engkau suka menikmati pantai malam hari? Hingga kinipun, aku masih berpikir…. Ku mencoba gayung kaki untuk membiasakan diri seperti yang biasa kamu lakukan, berjalan ke pantai, menikmati keramaian, menjelma menjadi penghias suramnya malam, meletakkan bingkai demi ketenangan hati… Tapi… Tebaran  noda selalu nampak diantara tapak kesunyian yang engkau jejaki. Mungkin itu yang membedakan kita dulu. Entah hingga hari ini….
Senja itu kini merajut duka ketika ku menatap… Tak ada sunyi, senyap pun tak pernah berhenti dalam hiruk pikuk. Engkau selalu menyinggungku melalui syair lagu “Perempuan Ini”, aku tak mampu menjawab. Jika mungkin hanya syair “Aku Bukan Untukmu” yang bisa aku balas. Berkali-kali aku minta ubah syair, namun selalu kamu lepas untuk kau sangkal. Kini semuanya senyap, tak ada canda tawa lagi yang menyapa. Tak ada asap rokok mengepul menghiasi deruan jiwa-jiwa kebisuan. Tak terhitung puing-puing retak yang terbangun …Berserakan…Ingin aku memungut tapi tetesan darah yang kita buat tak mampu kurangkai menjadi utuh. Atau mungkin itu telah menjadi takdir dari penghabisan waktu kita?
‘Angin lalu’ kata yang sering kau sebut. Walau tak pelak jiwa meronta karena berontak. Munafik? Siapa bilang? Bukan! Itu bukan karena kata itu…. Tapi mungkin kita sedang mencari yang terbaik. Tapi kita tidak bisa menyangkal jika akhirnya kata itu pula yang membunuh kita secara bersamaan. Bait demi bait kau nyanyikan kembali syair lagu yang telah lama engkau buang, hingga senja memaksa merajut kedustaannya. Bersama air mata engkau tuang semuanya hingga tak tersisa.
Kini, siapa yang akan kita salahkan? Pantai? Senja? Jalanan yang menjadikan kita selalu berdebat? Bukan! Bukan….semua itu… Namun ada yang tengah ternganga… Luka Kah? Bukan! Itu hanya fatamorgana kita yang sedang membelah senja.
Kini aku sudah lama tak mendengar lagi kabarmu padahal engkau memandang bulan yang sama dengan yang kupandang bersamamu dulu. Pada jalan yang ku susuri pun masih terpeta jejak langkahmu ketika aku menapakinya. Tapi angin tak pernah menghantarkan percikan dirimu ke pelukanku. Mungkin hanya sesekali kau muncul dalam jeratan mimpiku yang semu. Dan aku tak pernah tahu, apakah aku terbang mengunjungi kabut mimpimu.
Apa yang sedang engkau lakukan sekarang? Sungguh, aku benar-benar tak tahu. Aku kehilangan jejak langkahmu sejak engkau letakkan kaca pemisah buram diantara kita. Bahkan memandang dari balik kaca untuk mengintip bayang dirimu pun aku tak bisa. Kabut pedih yang melingkupi terlalu tebal. Hanya gegap nyeri berdenyut yang kudapat. Siapakah sekarang yang merajut tetesan waktu bersamamu? Untaian masa kita terburai sudah. Hanya tertinggal serpihan-serpihan jiwa yang terserak. Terbelenggu dalam hening yang menyiksa. Tapi aku rindu.
Bodohkan aku jika masih saja mengalamatkan rindu padamu? Saat tak ada lagi detik yang kau lewatkan untuk mengingatku. Saat tak ada lagi sisa diriku yang terpatri dalam hidupmu. Cabikan kenangan tentangku telah terburai. Bahkan hanya sekedar namaku pun kau lupakan. Hanya hening yang kau tawarkan padaku kini. Tanpa imbalan apapun. Kau lontarkan hening ketika kupersembahkan rinduku. Hening yang terus me-raja. Hening yang lahir dari benci. Rinduku terbentur hening. Tapi aku masih tetap merindumu. Kurengkuh hening ketika kumerindumu. Sudahlah…. Tak peduli aku berteriak sekuat tenaga, kau tak akan mendengarku. Kau lebih memilih hening untuk menggantikan jerit hatiku. Hening yang memilukan. Hening yang hanya mengantarkan cakap rindu kekasihmu kini. Semoga kau baik-baik saja diseberang hening yang memisahkan kita.
Danau Unhas, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar