Gemuruh petir ditengah mendung. Kelabu namun tak gerimis. Jendela kamar tertepa angin, bias dari angkara langit, menghiasi dinding gelegat alam. Aku terpaku melihat anak-anak burung menjuntai dibawah rimbunan dedaunan, kemana bunda mencari makan, kemana ayahanda berburu mangsa. Terukir mandiri dan keinginan untuk nekad terbang mencari, namun tak kuasa karena takdir tak mengijinkan. Mengapa harus sepilu ini resah menanti bayang. Walau jiwa kini terkoyak oleh dentuman halilintar, namun kepatuhan akan keinginan terus mengajari, entah hingga kapan. Terdiam aku karena terpikir tentang beberapa ekor anak burung itu, mungkin masih banyak anak-anak burung lain pada sarang dipohon yang lain.
Aku bisu, tatkala hal itu kini menyapaku. Aku terdiam, tiada solusi. aku pilu, sesak dan letih memikirkannya. Wahai ilusi mengapa kau tampakkan perkelanaanku ini sepedih derita alam. Tak kuduga episode indah diawal cerita kita harus berakhir dusta pada luka hatiku yang menganga. Mengapa tidak, engkau datang dan tiba-tiba menyapa jeritan pilu. Engkau tiba-tiba datang mengingkari kepercayaanku padamu, engkau tak memberikan aku kesempatan untuk berkata jujur, engkau biarkan kemunafikanmu terucap diantara lidah dan nuranimu. Kadang kala aku bertanya pada insan yang tak bertuah, mengapa harus dusta yang menjawab hubungan kita, mengapa harus ingkar yang terjawab ketika janji diukir.
Untuk pertama kalinya aku ucapkan "bedebah" pada engkau yang melukaiku, mengapa duka selalu mengikuti jejak langkahku, engkau memahaminya, engkau memakluminya, tapi kau tak pernah tahu akan kenapa?
Kupinta cinta yang manis pada dirimu, namun duka yang perih kau tabur. Mengapa kau ungkapkan jujur diawal perjumpaan, sedangkan empedu kata yang kau balut ingkar kau ucap diakhirnya. Duka akan dusta, perih derita kau tebar untuk hatiku yang suci. Tak pernah kukatakan salah akan arti dari kasih sayang yang kau berikan, tak pernah kuingkari dari janji yang kuucap, tak pernah kuduakan hati dari apa yang telah kita bangun, namun kenapa mesti kelabu yang engkau payungi, sedang gerimis tak pernah kau tahu. Inikah balasannya akan arti cintaku yang polos. Kau pernah katakan bahwa tidak akan ada dusta diantara kita jika aku mempercayaimu, tapi mengapa ludah yang telah kau buang itu engkau jilat kemudian. Dimana aku bisa mengadu, sedangkan mendungpun tak kau pedulikan.
Kasih untuk terakhir kalinya aku ucapkan, mengapa aku yang kau anggap tega untuk disakiti, apa yang salah pada diriku, apa pula yang menjadikanmu mendendami aku. Kalaupun aku yang salah, katakan apa yang telah kuperbuat hingga engkau yakini bahwa aku tak mampu memperbaikinya hingga kamu harus tinggalkan hati ini tanpa sedikitpun kata permisi yang terucap. Berkali-kali aku harap kau kembali, namun berkali-kali pula kau maki diriku tanpa kau jujur kenapa engkau biarkan aku pilu seorang diri.
Kasih, bila memang engkau tak lagi menyukaiku, aku pun tidak paksa tali kasih ini untuk kau rajut, bila engkau membenciku, aku pun rela asal kau katakan kenapa? Bila engkau anggap aku hanya batu loncatan untuk mendapatkan sesuatu dari diriku, aku rela. Tapi tolong aku masih punya perasaan untuk engkau pahami. Setidaknya ada jawab dalam tanyaku hari ini. Jika engkau mendengar jeritanku lewat tulisan ini. Aku pinta satu perkara, bahwa aku dengan gadis lain sama-sama punya perasaan bila disakiti seperti ini. Cukup aku yang menjadi permainan akan cintamu. Aku harap, tidak kau lakukan pada yang lain. Karma harus kau ingat, sebab aku masih menyanyangimu, tidak ada kata yang bisa aku ucap selain, maafkan aku bila aku telah melukai hatimu, maafkan aku bila telah menyinggahi perasaanmu walau sementara dan maafkan aku bila aku terlanjur menyayangimu.
Kasih….. biarkan langit mendung dalam kelabu, biarkan bintang menari diatas kegelapan, dan biarkan gelap dalam temaramnya, namun untuk terakhir kali, biarkan engkau dekat dengan pelupuk mataku tanpa aku mengaharap yang lain. Doaku menyertai kebahagiaanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar