Bahagia sesaat lebih indah pilu seabad. Suka atau tidak, itulah kegilaanku meniti rantai ditengah lebatnya hujan tak bermendung, kelam memang, namun gerimis tak menyapa, kemudian isi alam kaget ketika butir cairan melebat dimana-mana. Entah gerangan apa yang mengijinkannya hingga alampun membisu tak tahu kenapa? Air mata ikut membias menghiasi jagat raya, adakah hati yang berperasaan membiarkan cerah tertoreh kelam dan kelabu yang datang tiba-tiba? Alam berteriak pilu, jagat raya menangis mengira kiamat datang lebih dini. Kutersungkur tak tahu akan hal yang terjadi. Ataukah aku hanyalah obyek permainan alam, namun alam pun bingung untuk memilah. Mengapa ketegaan ini menyapaku hingga mimpi pun keheranan. Padahal esok ada harapan yang kugantung pada pundak-pundak bumi pertiwi.
Kerabatku, ada noda yang tertoreh diantara bias kebersamaan kita. Aku sangat terpukul ketika keterkoyakkan ini menimpa persaudaraan yang kita jalin. Ada ketidak relaan ketika suara suram terdengar hingga dipenghujung kota. Entah atas dasar apa hati kita berbicara lain, adakah hasrat yang tertuang dalam niat kebersamaan, ataukah kita disatukan dalam kebersamaan untuk saling mengkhianati. Maafkan aku sobat, cerita cinta yang pernah kuliwati bersama denganya terjalin ketika engkau belum mengenalnya. Namun semua itu terlukis dalam kubangan buaya. Entah siapa yang salah sobat, dia kah yang aku cinta ataukah engkau yang aku sayangi, mungkin pula karena aku yang belum memamahmi perasaan kalian yang ingin menyatu, namun mengapa harus diantara kita sobat?
Mungkin engkau pernah mendengar cerita cinta kami sobat? Begitu indah, begitu romantis, cinta dan kasih sayang tumbuh subur diantara jiwa yang saling menyanjung. Tak habis pikir kemudian yang menyelimuti diriku, sebab ada hati yang sedang memaksa untuk menerobos jeruji-jeruji kisah yang kemudian terkenang menjadi luka. Namun mengapa harus diatara kita ? mimpikah ini? Atau kah ini cobaan hidup.
Kasih, ketika kilatan itu menyambar telingaku, aku tersungkur lesu dibawa kaki sejarah. Sia-sia pena yang kupilih untuk menulis cerita kita, yang akhirnya kau sirami dengan warna hitam. Tidak ada lagi putih yang nampak diantara buku-buku cerita kita, sungguh tega engkau permainkan hati ini. Mengapa harus sobatku yang kau jadikan angkara hidupku. Mengapa sobatku yang kau usung untuk kau sayangi, sementara masih ada cinta pada hati ini. Aku muak, aku resah, aku benci dengan segala yang sedang terungkap. Wahai diri yang malang, mengapa cobaan ini ditakdirkan untuk dermaga kasihku. Mengapa tidak berlabuh pada dermaga kisah dilain hati. Aku mengerti bahwa cinta tak harus saling memiliki, namun aku tidak paham mengapa persahabatan yang jadi target untuk kau madu.
Kasih,….sungguh engkau luar biasa, menyakiti diantara pedih, menyiram luka dengan garam yang kau tanak. Kemudian menebarnya untuk kesenanganmu. Sadarlah, kasih, bahwa kemenanganmu saat ini adalah duka yang akan kau semai diujung perjalananmu. Aku tertunduk luka diantara tarian-tarian kebahagiaan, tidak lain dan tidak bukan, pesta itu kau buat untuk membunuh nuraniku yang gersang akan kasih sayang, mengapa tidak kau bunuh sekalian jiwa yang sedang berontak ini?
Sobat, sekali lagi entah siapa yang sebanarnya yang salah. Mungkin aku yang telah terlalu berambisi membangun pondasi yang lebih tinggi, hingga tak kusadari bahwa ada runtuh yang sedang menungguku. Kini kusadar bahwa semua itu telah terjadi dan kini aku remuk oleh kalian. Pedih, menyiksa hingga ke saraf cinta.
Tidak ada hal yang bisa kupaksakan berlabuh, namun yang kusesali mengapa harus ada dua dermaga untuk satu kapal yang akan bersandar. Terima kasih sobat, engkau telah membiarkanku menyadari kemunafikan ini. Terima kasih pula kasih, karena engkau telah menanamkan benih kebencian yang mendalam. Aku hanya bisa menyumbang kisah dihari pertunangan kalian nanti. Semoga tidak ada lagi generasi penghancur harapan sejati yang akan hadir dimuka bumi ini, tidak pula pada bunda pertiwi.
Selamat mengarungi mimpi-mimpi indah diatas tangisan berontak jiwa pengembara cinta dan pejuang kepedihan kasih. Terima kasih untuk terkahir kalinya, karena dari kalianlah aku terbiasa muntah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar